Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Semoga Dapat Memberikan Manfaat Buat Anda Semua.

Selasa, 24 Maret 2009

Pendidikan Akar Kecerdasaan dalam Berpolitik



Apabila kita mencoba mengamati tayangan media televisi, koran, dan media lainnya, akan mudah kita jumpai berbagai parodi politik yang lucu dan menggelitik. Bebagai aksi tontonan yang mendebarkan dan mengusik hati nurani kita banyak bermunculan seperti model kampanye besar-besaran yang melibatkan anak-anak dibawah umur, pawai peserta parpol di jalanan umum yang berujung pada kemacetan dan terkadang menimbulkan persaingan tidak sehat sehingga memicu aksi bentrokan antar pendukung partai politik. Dari masa ke masa hal tersebut selalu terjadi secara berulang-ulang, dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya korban jiwa akibat bentrokan antar pendukung partai politik. Padahal apa yang didapatkan setelah pesta demokrasi itu usai? rakyat hanya bisa gigit jari dan menelan pil pahit janji-janji manis para JURKAM dan politisi yang tidak bertanggungjawab. Masa para pendukung parpol tidak pernah merasa kapok atas tindakan mereka tersebut. Masyarakat seringkali dijadikan komoditas politik para politisi untuk mengangkat mereka pada kekuasaan namun ketika para politisi itu sudah naik ke panggung kekuasaan, mereka lupa akan janji-janji meraka kepada rakyat yang telah bersedia mati-matian dalam memperjuangkannya. para politisi lebih suka membangun pencitraan diri dan mengobral janji ketimbang benar-benar memperjuangkan rakyat untuk hidup secara layak,
mengapa berbagai fenomena ini bisa terjadi? para politisi yang lebih suka membangun pencitraan diri dan mengobral janji ketimbang benar-benar memperjuangkan rakyat, masyarakat yang gampang larut dijadikan komoditas politik demi kekuasaan para politisi yang sesaat, pelanggaran demi pelanggaran kampanye, money politic, tebar pesona para politisi, hilangnya keharmonisan antar elit politik, dan bahkan kerusuhan antar pendukung politik. kalau kita mau menengok sedikit saja terhadap negara lain yang lebih maju, di Amerika Mc. Cain yang kalah dalam pertarungan politik di Amerika rela mengakui denagn sportif dan bahkan ia langsung mengucapkan selamat dan siap membantu dalam mendukung pemerintahan Presiden Obama. di Jepang seorang Elit politik rela mengundurkan diri dari jabatan mentri karena ia merasa malu telah melakukan suatu kesalahan yang kecil. Semua itu lahir dari kesadaran berpolitik dan etika yang tinggi.

kesadaran berpolitik yang tinggi dan budya etika yang baik lahir dari sebuah pendidikan yang baik. diakui atau tidak urutan ranking pendidikan negara kita sangat memprihatikan jika dilihat dari urutan dunia. bahkan di Asia pun kita berada peringkat kedua dari akhir. padahal ironisnya khabarnya anggaran APBN untuk pendidikan kita sudah lebih dari 20 % ini adalah angka yang tidak sedikit..buanyak sekali. Akan tetapi apakah alokasi yang sudak sedemikian besar telah efektif dalam meningkatkan pendidikan di negara kita? kita harus mencermati apakah alokasi dana tersebut telah sampai ke seluruh pelosok negara kita? ataukah lebih besar penggunaannya pada alokasi birokrasi pendidikan yang ada? bagaimana transparansi alokasi dana yang telah dikeluarkan pemerintah. jawabannya kita sebagai pengamat hanya bisa mendengarkan laporan dari pihak yang berkuasa yang begitu manis padahal contoh kecilnya saja di malang dapat kita saksikan beritannya di media Televisi bagimana anak-anak yang menangis histeris karena berebutan bangku karena bangkunga mau diangkut oleh kontraktor sekolah. kembali lagi jika kita ingin mencapai kecerdasan dalam berpolitik, etika berpolitik yang baik akarnya adalah kita harus memperbaiki pendidikan untuk masa depan. contohnya saja bagaimana kita meningkatkan kurikulum pendidikan kita yang masih syarat dengan kepentingan pribadi/ kekuasaan, masih dipertahankannya UAN misalnya. membangun infrastruktur pendidikan yang lebih baik, penggunaan alokasi pendidikan yang tepat dan efektif disertai pengawasan yang baik dan pelaporan yang trasparan. selamat berjuang


ditulis oleh :

Nana Sujana

Praktisi & pengamat Pendidikan

Kebiasaan Mencontek Melahirkan Koruptor


Jumat, 07 Januari 2005
Biasa Mencontek Melahirkan Koruptor
Oleh Baskoro Poedjinoegroho E
TANGGAL 3 Desember 2004 yang lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi bersama 100 selebritis/artis menggelar Teriakan Anti Korupsi (Kompas, 4/12/2004). Perhelatan itu mendapat dukungan istimewa karena dihadiri Presiden, menteri, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya.
Jika kehadiran mereka dapat diartikan sebagai tanda peng-iya-an/setuju untuk tidak melakukan korupsi, sudah sepantasnya Teriakan Anti Korupsi didukung seluruh masyarakat Indonesia yang pengap dengan wabah korupsi. Masalahnya, bagaimana cara mendukungnya? Apakah teriakan atau usaha semacam itu akan berdampak?
TERIAKAN itu mungkin dimaksudkan agar yang biasa atau telah melakukan korupsi menjadi malu sehingga tidak berani lagi atau sungkan melakukan korupsi. Apalagi jika yang biasa melakukan tindak korupsi mendengar atau melihat bahkan hadir dalam acara itu. Pertanyaan berikut, apakah bangsa kita mudah atau bisa menjadi malu? Jawaban yang realistis, sulit (semoga bukannya tidak mau). Telinga kita sudah biasa mendengar tentang orang-orang yang konon jelas melakukan korupsi, tetapi tidak dapat dijerat oleh hukum yang konon dikawal para ahli hukum yang mumpuni. Sebaliknya, yang bersangkutan dengan gagah dan percaya diri tetap tampil di muka umum sebagai pemimpin, baik atas kemauan sendiri, dan lebih konyol lagi, diusulkan masyarakat tertentu.
Dalam acara Teriakan Anti Korupsi itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, pemberantasan korupsi tidak untuk diomongkan atau dipidatokan. Seruan moral tidak cukup. Lantas bagaimana korupsi diberantas?
Tindakan amoral berupa korupsi adalah tindakan yang berasal dari kebiasaan. Seseorang melakukan korupsi karena sudah terbiasa bertindak tidak jujur. Karena itu, pemberantasannya pun harus melalui kebiasaan mempraktikkan kejujuran. Tempat yang tepat dan strategis untuk mempraktikkan kejujuran adalah sekolah. Sekolah merupakan tempat untuk menanamkan dan mempraktikkan kejujuran yang akan mengarah ke tindakan antikorupsi. Mengingat sekolah adalah tempat untuk melatih berpikir dan membuat berbagai pertimbangan; seseorang dikirim ke sekolah agar menjadi pandai dan baik, cerdas dan berkepribadian. Di dalam sekolah itulah berbagai kebiasaan mewujudkan nilai (value) dilatihkan, baik secara langsung maupun tidak. Keajekan dan kontinuitas yang direncanakan adalah ciri melekat yang ada pada setiap sekolah.
Ruang, waktu, dan para calon penentu arah kemajuan bangsa tersedia di sekolah. Para peserta didik itulah yang nanti akan menjadi penentu arah kemajuan bangsa. Maju-mundurnya bangsa ditentukan maju-mundurnya generasi muda. Seorang pedagog bernama Petrus Kanisius mengatakan, memengaruhi kaum muda berarti memengaruhi masa depan bangsa. Karena itulah, saat dan tempat strategis di sekolah harus dimanfaatkan seluas-luasnya dalam rangka memberantas korupsi yang masih dan sedang merajalela di negara ini. Kita boleh berharap terbitnya bangsa Indonesia yang sehat, seandainya seluruh lembaga pendidikan atau sekolah di Indonesia mempunyai program melatihkan kebiasaan untuk tidak melakukan ketidakjujuran yang merupakan bibit dari korupsi.
TIDAK bisa dimungkiri, kebiasaan yang amat lazim menggoda dan dipraktikkan peserta didik di Indonesia dari tingkat paling rendah hingga paling tinggi adalah kebiasaan berbuat tidak jujur dalam menyelesaikan tugas belajar, yakni terutama kebiasaan mencontek saat ulangan atau ujian. Bahkan, tak jarang terdengar ungkapan yang pantas untuk dikikis habis, bahwa mencontek adalah sebuah seni dalam sekolah; atau pernyataan bahwa seseorang akan dianggap aneh atau tak wajar jika dalam hidupnya tidak pernah mencontek. Sungguh memprihatinkan. Sudah saatnya secara bersama dan terprogram kebiasaan tidak mencontek menjadi tujuan pokok pengembangan sikap peserta didik.
Perbaikan mutu pendidikan dapat diharapkan jika ketika memperingati Hari Guru dan Hari Aksara Internasional pada 2 Desember lalu di Senayan Presiden SBY tidak hanya menekankan perihal kesejahteraan guru (karena penaikan gaji semata-mata tanpa dibarengi program yang jelas tidak akan membuahkan hasil pada kemajuan pendidikan), tetapi juga menitipkan sebuah program kepada para guru agar melatihkan kebiasaan tidak mencontek di sekolah. Bukan mustahil, kebiasaan untuk tidak mencontek menjadi program nasional. Sebab, sebenarnya justru di situlah masalah pokok dunia pendidikan kita.
Penggalakan kebiasaan untuk tidak melakukan kegiatan mencontek amat terakomodasi dalam Kurikulum 2004. Kurikulum menyediakan ruang selebar-lebarnya untuk mengembangkan sikap hidup (ranah afektif) dari setiap peserta didik, selain pemahaman/pengetahuan (ranah kognitif) dan keterampilan praktik (ranah psikomotorik). Setiap guru atau pendidik diberi kebebasan untuk menentukan sikap-sikap mana dari peserta didik yang perlu dikembangkan.
Dalam hal ini, jika mau dipadukan dengan tekad untuk memberantas korupsi seperti dicanangkan pemerintahan SBY, sudah selayaknya sekolah mengimbangi dengan terus menghidupkan kebiasaan untuk tidak mencontek; daripada disibukkan dan dipusingkan dengan mencari-cari kompetensi ranah afektif yang harus dituliskan ke dalam rapor.
MEMANG, memerangi kebiasaan mencontek bukan pekerjaan mudah karena harus melibatkan seluruh komponen sekolah, yaitu guru, peserta didik bersama orangtua, dan penyelenggara sekolah dalam langkah-langkah terpadu. Semua harus setuju dan mengusahakan langkah konkret-operasional agar kebiasaan mencontek tidak ada di sekolah.
Semua harus memusatkan diri pada pendampingan peserta didik yang penuh tantangan untuk menjadi bangga dan mencintai kejujuran serta biasa tidak mencontek. Jika tidak, niscaya akan muncul malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur, yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor.
Baskoro Poedjinoegroho E Direktur SMA Kanisius Jakarta

Senin, 23 Maret 2009

Kebijakan Pendidikan Belajar Bijak dari Kasus UAN


Berbicara tentang pendidikan adalah suatu tema pembahasan yang tiada habis-habisnya. kita dapat melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
Kebijakan PendidikanBelajar Bijak dari Kasus UN
Suparman
Harian Kompas, Senin, 28 Mei 2007, Silang pendapat tentang ujian nasional atau UN, yang sudah berlangsung tahunan, akhirnya diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan oleh 58 anggota masyarakat yang mewakili siswa, orangtua siswa, guru, dan para pemerhati pendidikan. Gugatan yang diajukan sejak hampir setahun yang lalu itu sebagian besar dikabulkan oleh majelis hakim.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak eksepsi para tergugat, yang terdiri atas Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa para tergugat telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak.
Majelis hakim juga memerintahkan para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia, sebelum (pemerintah) melaksanakan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut. Para tergugat juga diperintahkan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN, dan diperintahkan juga untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional.
Ada beberapa hal menarik yang patut dicermati dari putusan majelis hakim. Di antaranya terdapat persamaan pendapat antara majelis hakim dan para penggugat untuk menyebut siswa yang tidak lulus akibat kebijakan UN ini sebagai korban ujian nasional. Mengapa harus diposisikan sebagai korban?
Sebenarnya sudah sejak lama ketika kebijakan pemerintah di bidang pendidikan selalu berubah, maka yang paling merasakan dampak dari perubahan tersebut adalah siswa. Pada tahun 1979, kelulusan siswa sempat tertunda sampai enam bulan (satu semester) ketika terjadi perubahan sistem tahun pembelajaran. Sejak diberlakukan Kurikulum 1984, beban mata pelajaran pun bertambah dengan masuknya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang dinilai mengandung banyak pesan politik kekuasaan.
Ketika menjelang berakhirnya Kurikulum 1994, tiba-tiba saja muncul "Suplemen Kurikulum 1994" yang kemudian digantikan dengan Kurikulum 2004. Baru belakangan diketahui bahwa Kurikulum 2004 adalah kurikulum eksperimen, yakni ketika masyarakat dikagetkan dengan penarikan sejumlah buku sejarah yang dinilai menyimpang dari kurikulum resmi pemerintah.
Ketika masyarakat protes soal ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional), akhirnya ebtanas pun dihapuskan. Sejak itu siswa sekolah menengah sempat mengalami sistem penilaian yang "berbasis proses" dengan penilaian yang dilakukan mulai dari kelas I sampai kelas III untuk menentukan kelulusannya. Tidak lama kemudian, pada tahun pelajaran 2003/2004, sistem penilaian proses digantikan dengan sistem ujian akhir nasional (UAN). UAN inilah yang kemudian berubah nama menjadi ujian nasional (UN).
Jadi kelinci percobaan
Pendidikan sebagai sebuah proses memang perlu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Tetapi, perubahan demi perubahan yang tidak dirancang dengan landasan filosofi dan konstitusi yang matang akhirnya hanya terkesan menjadikan siswa dan guru sebagai kelinci percobaan semata.
Karena itu, tepat sekali ketika majelis hakim memosisikan siswa yang tidak lulus UN sebagai korban UN. Sebab, bukan saja secara pedagogis UN dapat menghambat proses berpikir kreatif anak dan menghilangkan hak anak untuk memperoleh penilaian secara holistik, tetapi juga secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sebagaimana pernah dinyatakan oleh Ketua DPR Agung Laksono (Kompas, 8 Mei 2007).
Perintah majelis hakim kepada para tergugat untuk terlebih dahulu meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia sebelum melaksanakan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut sesungguhnya sejalan dengan keinginan banyak pihak. Sudah sejak lama pemerintah diingatkan agar tidak menyelenggarakan UN terlebih dahulu sebelum memenuhi standar-standar lain yang menjadi kewajibannya sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas.
Masih banyak guru yang tidak kompeten dan belum memenuhi kualifikasi. Belum lagi sekolah yang roboh dan belum terehabilitasi dengan baik, fasilitasi pembelajaran yang masih jauh dari harapan, serta akses informasi yang sangat terbatas di sejumlah daerah maupun di kota-kota besar.
Semua itu memperlihatkan bahwa standar-standar terpenting dalam pemenuhan hak anak atas pendidikan untuk memperoleh pendidikan yang terbaik bagi dirinya belum dipenuhi oleh pemerintah. Terasa tak adil apabila pemerintah belum sepenuhnya memberikan pelayanan yang terbaik bagi anak, tetapi telah mewajibkan anak untuk meraih standar minimal yang ditentukan oleh pemerintah.
Mencermati putusan majelis hakim yang memerintahkan para tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN, terbayang oleh kita sejumlah anak yang mengalami tekanan psikologis akibat ketidaklulusannya. Di antaranya ada yang berniat melukai diri sendiri sampai usaha untuk bunuh diri.
Gangguan psikologis pada sejumlah anak lebih banyak didorong oleh perasaan diperlakukan tidak adil oleh sistem ujian yang hanya menghakimi mereka dalam waktu 3 x 2 jam saja selama UN. Tidak tercapainya nilai minimal dalam batas yang sangat tipis pada satu mata pelajaran saja mengakibatkan mereka tidak lulus. Padahal, selama tiga tahun mengikuti pembelajaran mereka sudah berusaha keras untuk meraih prestasi dan budi pekerti yang terbaik.
Dalam kasus seperti ini pemerintah semestinya memulihkan kembali konsisi psikologis anak dengan menyediakan para psikolog untuk mengatasi gangguan psikis pada anak, selanjutnya mengembalikan kewenangan guru dengan satuan pendidikannya untuk mengevaluasi kembali penentuan kelulusannya secara komprehensif. Jika ternyata memiliki nilai komprehensif yang memadai, maka mereka berhak untuk lulus dari satuan pendidikannya.
Kembalikan hak guru
Klimaks dari putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat adalah perintah kepada para tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional. Sepintas putusan ini bermakna interpretatif. Tetapi, jika dipahami sebagai bagian yang tidak terlepas dari semua putusan sebelumnya yang terfokus pada persoalan UN, maka sebenarnya pemerintah dan DPR bersama-sama dengan masyarakat dapat memaknai putusan ini sebagai pintu masuk untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Revisi terhadap PP ini seyogianya dijadikan solusi terbaik bagi semua pihak, terutama demi kepentingan terbaik anak. Kembalikanlah tugas mengevaluasi hasil belajar dan kelulusan peserta didik sepenuhnya kepada guru dan satuan pendidikannya, serta memfungsikan kembali UN hanya sebagai alat untuk pemetaan mutu pendidikan.
Palu majelis hakim telah dijatuhkan. Bagaimana semestinya para pihak menyikapi putusan majelis hakim tersebut? Kita acungkan jempol kepada Melati Murti Pertiwi, salah satu korban UN yang ikut menggugat diwakili oleh ayahnya. Dalam kesempatan dialog di sebuah televisi swasta, ia dengan bijak mengatakan bahwa putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tidak dipandangnya sebagai pertarungan menang atau kalah, tetapi akan dijadikannya sebagai momentum untuk sama-sama memperbaiki dunia pendidikan.
Sikap bijak Melati bersama dengan teman-temannya sesama korban UN akan tercatat dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Pemerintah pun akan menorehkan tinta emas dalam sejarah yang sama, andai saja secara bijak mau mendengar suara Melati dan menyatukan hati bersama dengan anak-anak Indonesia untuk memperbaiki pendidikan. Semoga!
Suparman Guru SMA Negeri di Jakarta; Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII)

Selasa, 17 Maret 2009

Guru Harus Memahami Autisme pada Anak


Media Indonesia - Kesra (12/02/2001 01:33 WIB) JAKARTA (Media): Pengetahuan guru terhadap autisme sangat berperan untukmeminimalisasi gejala gangguan perkembangan tersebut jika autisme ada padaanak didiknya. Paling tidak guru sebaiknya sadar bahwa autisme merupakankelainan yang membuat seorang anak sulit merespons komunikasi yang dilakukanguru.Hal ini penting karena sikap yang diperlihatkan oleh seorang anak penderitaautisme sering menunjukkan ketidakpatuhan yang menyebabkan gurumenganggapnya sebagai pembangkangan. Padahal sikap tersebut disebabkan suatugangguan interaksi sosial yang dimiliki sang anak. Menurut Ketua Jurusan Program Studi Bimbingan Konseling FKIP Unika Atma JayaGerda Wanai, banyaknya guru yang tidak memahami gejala autisme membuatanak-anak penderita gangguan perkembangan tersebut menjadi lebih terisolasi. "Padahal intervensi dini pada anak-anak autisme dapat mengurangi perbedaanyang diderita jauh lebih besar. Sementara jika tidak dilakukan justru akanmembuat gangguan tersebut semakin dalam," kata Gerda di sela-sela workshopPelatihan Mengatasi Autisme pada Anak yang diselenggarakan FKIP Unika AtmaJaya bekerja sama dengan Yayasan Penanganan Autisme (YPA) dan InterventionServices for Autism and Development Delay (ISADD), Sabtu (10/2). Untuk menangani masalah autisme ini, menurut Gerda, diperlukan suatupendidikan terpadu khusus bagi anak-anak autisme. Dalam arti penderitaautisme tetap berada di sekolah umum, namun mendapatkan perhatian lebihdengan ditempatkan pada kelas yang jumlah muridnya lebih sedikit. Selama ini, lanjut Gerda, ada semacam kontradiksi bagi anak autisme. Di satusisi orang tua penderita merasa anaknya normal karena tidak ada kecacatanfisik, sehingga mereka memasukkan anaknya di sekolah umum. Di sisi lain disekolah umum anak-anak autisme tidak dapat berinteraksi sehingga sulitmenerima pelajaran. Yang terjadi selanjutnya, kata Gerda, penderita autisme dimasukkan keSekolah Luar Biasa C (SLB yang ditujukan bagi penderita keterbelakanganmental). "Padahal dengan dimasukkan ke SLB C, perkembangan anak autismejustru menurun. Karena secara mental mereka sebenarnya tidak apa-apa. Brainmereka ada, namun mereka egois, sibuk sendiri dengan sesuatu, dan tidakdapat berinteraksi. Kalau digabung dengan anak-anak yang terbelakang mental,ya malah mundur."