Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Semoga Dapat Memberikan Manfaat Buat Anda Semua.

Senin, 18 Mei 2009

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa


Inilah para pahlawan tanpa tanda jasa yang dikomandani oleh Ibu Lubna Assagaf beserta para pasukannya, mereka berjuang dalam membebaskan masyarakat dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan. Mereka berjuang sekuat tenaga tak kenal putus asa. meraka berkorban waktu tenaga dan pikiran demi kemajuan bangsa ini. semoga mereka mendapatkan balasan yang setimpal di sisi-Nya.

hanya satu kata : Merdeka dari Kebodohan.

Rabu, 13 Mei 2009

Sebuah Puisi Karya Ananda Gendhis


Neneku

karya : Gendhis


Rambutmu mulai memutih

Kulitmu mulai keriput

Gigimu kini tak utuh lagi

tapi aku tetap sayang padamu


Neneku selalu menghiburku

Kau selalu membuatku gembira

Kau selalu menjagaku

Aku sayang padamu

Sabtu, 09 Mei 2009

Ada Apa dengan UASBN?


Berbicara tentang pendidikan adalah suatu tema pembahasan yang tiada habis-habisnya. kita dapat melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda.Kebijakan PendidikanBelajar Bijak dari Kasus UNSuparmanHarian Kompas, Senin, 28 Mei 2007, Silang pendapat tentang ujian nasional atau UN, yang sudah berlangsung tahunan, akhirnya diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan oleh 58 anggota masyarakat yang mewakili siswa, orangtua siswa, guru, dan para pemerhati pendidikan. Gugatan yang diajukan sejak hampir setahun yang lalu itu sebagian besar dikabulkan oleh majelis hakim.Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak eksepsi para tergugat, yang terdiri atas Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa para tergugat telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak.Majelis hakim juga memerintahkan para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia, sebelum (pemerintah) melaksanakan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut. Para tergugat juga diperintahkan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN, dan diperintahkan juga untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional.Ada beberapa hal menarik yang patut dicermati dari putusan majelis hakim. Di antaranya terdapat persamaan pendapat antara majelis hakim dan para penggugat untuk menyebut siswa yang tidak lulus akibat kebijakan UN ini sebagai korban ujian nasional. Mengapa harus diposisikan sebagai korban?Sebenarnya sudah sejak lama ketika kebijakan pemerintah di bidang pendidikan selalu berubah, maka yang paling merasakan dampak dari perubahan tersebut adalah siswa. Pada tahun 1979, kelulusan siswa sempat tertunda sampai enam bulan (satu semester) ketika terjadi perubahan sistem tahun pembelajaran. Sejak diberlakukan Kurikulum 1984, beban mata pelajaran pun bertambah dengan masuknya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang dinilai mengandung banyak pesan politik kekuasaan.Ketika menjelang berakhirnya Kurikulum 1994, tiba-tiba saja muncul "Suplemen Kurikulum 1994" yang kemudian digantikan dengan Kurikulum 2004. Baru belakangan diketahui bahwa Kurikulum 2004 adalah kurikulum eksperimen, yakni ketika masyarakat dikagetkan dengan penarikan sejumlah buku sejarah yang dinilai menyimpang dari kurikulum resmi pemerintah.Ketika masyarakat protes soal ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional), akhirnya ebtanas pun dihapuskan. Sejak itu siswa sekolah menengah sempat mengalami sistem penilaian yang "berbasis proses" dengan penilaian yang dilakukan mulai dari kelas I sampai kelas III untuk menentukan kelulusannya. Tidak lama kemudian, pada tahun pelajaran 2003/2004, sistem penilaian proses digantikan dengan sistem ujian akhir nasional (UAN). UAN inilah yang kemudian berubah nama menjadi ujian nasional (UN).Jadi kelinci percobaanPendidikan sebagai sebuah proses memang perlu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Tetapi, perubahan demi perubahan yang tidak dirancang dengan landasan filosofi dan konstitusi yang matang akhirnya hanya terkesan menjadikan siswa dan guru sebagai kelinci percobaan semata.Karena itu, tepat sekali ketika majelis hakim memosisikan siswa yang tidak lulus UN sebagai korban UN. Sebab, bukan saja secara pedagogis UN dapat menghambat proses berpikir kreatif anak dan menghilangkan hak anak untuk memperoleh penilaian secara holistik, tetapi juga secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sebagaimana pernah dinyatakan oleh Ketua DPR Agung Laksono (Kompas, 8 Mei 2007).Perintah majelis hakim kepada para tergugat untuk terlebih dahulu meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia sebelum melaksanakan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut sesungguhnya sejalan dengan keinginan banyak pihak. Sudah sejak lama pemerintah diingatkan agar tidak menyelenggarakan UN terlebih dahulu sebelum memenuhi standar-standar lain yang menjadi kewajibannya sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas.Masih banyak guru yang tidak kompeten dan belum memenuhi kualifikasi. Belum lagi sekolah yang roboh dan belum terehabilitasi dengan baik, fasilitasi pembelajaran yang masih jauh dari harapan, serta akses informasi yang sangat terbatas di sejumlah daerah maupun di kota-kota besar.Semua itu memperlihatkan bahwa standar-standar terpenting dalam pemenuhan hak anak atas pendidikan untuk memperoleh pendidikan yang terbaik bagi dirinya belum dipenuhi oleh pemerintah. Terasa tak adil apabila pemerintah belum sepenuhnya memberikan pelayanan yang terbaik bagi anak, tetapi telah mewajibkan anak untuk meraih standar minimal yang ditentukan oleh pemerintah.Mencermati putusan majelis hakim yang memerintahkan para tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN, terbayang oleh kita sejumlah anak yang mengalami tekanan psikologis akibat ketidaklulusannya. Di antaranya ada yang berniat melukai diri sendiri sampai usaha untuk bunuh diri.Gangguan psikologis pada sejumlah anak lebih banyak didorong oleh perasaan diperlakukan tidak adil oleh sistem ujian yang hanya menghakimi mereka dalam waktu 3 x 2 jam saja selama UN. Tidak tercapainya nilai minimal dalam batas yang sangat tipis pada satu mata pelajaran saja mengakibatkan mereka tidak lulus. Padahal, selama tiga tahun mengikuti pembelajaran mereka sudah berusaha keras untuk meraih prestasi dan budi pekerti yang terbaik.Dalam kasus seperti ini pemerintah semestinya memulihkan kembali konsisi psikologis anak dengan menyediakan para psikolog untuk mengatasi gangguan psikis pada anak, selanjutnya mengembalikan kewenangan guru dengan satuan pendidikannya untuk mengevaluasi kembali penentuan kelulusannya secara komprehensif. Jika ternyata memiliki nilai komprehensif yang memadai, maka mereka berhak untuk lulus dari satuan pendidikannya.Kembalikan hak guruKlimaks dari putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat adalah perintah kepada para tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional. Sepintas putusan ini bermakna interpretatif. Tetapi, jika dipahami sebagai bagian yang tidak terlepas dari semua putusan sebelumnya yang terfokus pada persoalan UN, maka sebenarnya pemerintah dan DPR bersama-sama dengan masyarakat dapat memaknai putusan ini sebagai pintu masuk untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.Revisi terhadap PP ini seyogianya dijadikan solusi terbaik bagi semua pihak, terutama demi kepentingan terbaik anak. Kembalikanlah tugas mengevaluasi hasil belajar dan kelulusan peserta didik sepenuhnya kepada guru dan satuan pendidikannya, serta memfungsikan kembali UN hanya sebagai alat untuk pemetaan mutu pendidikan.Palu majelis hakim telah dijatuhkan. Bagaimana semestinya para pihak menyikapi putusan majelis hakim tersebut? Kita acungkan jempol kepada Melati Murti Pertiwi, salah satu korban UN yang ikut menggugat diwakili oleh ayahnya. Dalam kesempatan dialog di sebuah televisi swasta, ia dengan bijak mengatakan bahwa putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tidak dipandangnya sebagai pertarungan menang atau kalah, tetapi akan dijadikannya sebagai momentum untuk sama-sama memperbaiki dunia pendidikan.Sikap bijak Melati bersama dengan teman-temannya sesama korban UN akan tercatat dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Pemerintah pun akan menorehkan tinta emas dalam sejarah yang sama, andai saja secara bijak mau mendengar suara Melati dan menyatukan hati bersama dengan anak-anak Indonesia untuk memperbaiki pendidikan. Semoga!Suparman Guru SMA Negeri di Jakarta; Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII)

Kamis, 23 April 2009

Peringatan Hari Bumi di Lazuardi


DEPOK -- Peringatan Hari Bumi tak hanya dirayakan secara seremonial saja. Berbagai kegiatan pelestarian dan pembaharuan lingkungan dilakukan berbagai lapisan masyarakat.Salah satunya dilakukan para siswa, guru, dan wali murid di Lazuardi Global Islamic School Cinere, Depok, Rabu (22/4) dalam Lazuardi Earth Day 2009. Acara bertema one day, one give,dan one earth ini menanamkan rasa kecintaan anak pada pelestarian lingkungan alam sekitar.‘’Berbagai rangkaian acara ini sebagai sarana pembelajaran anak tentang lingkungan serta pendidikan secara psikomotorik dan pembentukan karakter anak yang berakhlak,” terang penanggung jawab acara Rahmad Riyadi.Acara yang dimulai sekitar jam 06.30 WIB hingga jam 10.00 WIB ini tergolong unik. Pasalnya, selama acara berlangsung diterapkan aturan bebas asap kendaraan (Young Lungs at work). Sehingga sebagian besar orang tua siswa yang membawa kendaraan bermotor dan pengendara lainnya dilarang melintas di sekitar area sekolah. Selain itu, pihak sekolah membuat ratusan lubang biopori di dalam area sekolah dan di luar halamannya dalam cakupan sekitar 500m2.Sekitar 700 siswa tingkat SD hingga SMP pun membersihkan seluruh ruang kelas (Clean Up Day) dan menanam berbagai jenis tanaman di beberapa petak lahan (Green My School). Tak lupa,siswa pra TK, TK, SD hingga SMP pun berpartisipasi dalam anak lomba penulisan puisi, gambar, dan fotografi bertemakan lingkungan. Ratusan hasil karya mereka ditempelkan di seluruh sudut sekolah.‘’Selain memberi kesadaran tentang lingkungan, sekolah juga mengajak peran aktif orang tua untuk memberikan contoh agar anak-anak juga berperilaku mencintai alam di rumah,” terang wakil direktur Lazuardi GIS Cinere Iba Muhibba.Lantaran kegiatan ini, ujar Iba,sebagai aplikasi dari metode multiple intelligence menekankan pengajaran pada anak sesuai kemampuan dan kecerdasan tiap individu. Dari berbagai hasil karya mereka,para staf pengajar bisa mengetahui dan mengembangkan ketrampilan yang paling diminati anak didiknya. -c84/ahi

Selasa, 21 April 2009

Selamatkan Bumi Kita Kawan

Bumi kita semakin hari semakin tua. Suhu disekitar kita semakin terasa panas, musim semakin tidak teratur, atmosfir bumi semakin menipis, polusi semakin bertambah banyak, dan lain sebagainya. Kenapa Bumi perlu diselamatkan ya? apa yang sedang terjadi pada Bumi saat ini? Saat ini, Bumi sedang mengalami pemanasan global atau sering disebut dengan global warming. Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata di atmosfer, lautan, serta benua-benua di Bumi. Hal ini terjadi disebabkan oleh semakin meningkatnya kadar gas metan dan karbon dioksida di atmosfer (yang berasal dari pembakaran hutan, minyak, dan bahan bakar fosil). Kedua gas tersebut menangkap lebih banyak panas dibandingkan gas jenis lain, namun tidak melepaskannya kembali. Akibatnya, Bumi menjadi semakin panas.
Pemanasan global menyebabkan es di kutub mencair. Es yang mencair itu kemudian membuat permukaan laut menjadi naik dan menutupi seluruh pesisir pantai. Jika dibiarkan terus-menerus, lama kelamaan daratan tempat manusia tinggal menjadi berkurang. Akibatnya manusia jadi kesulitan mencari lahan untuk menanam tumbuhan sebagai sumber makanan. Perubahan iklim yang cepat juga membuat tumbuh-tumbuhan dan hewan kesulitan untuk beradaptasi, bahkan dapat menyebabkan kematian untuk beberapa spesies tertentu. Waduh, seram juga ya?
Lantas, apakah pemanasan global dapat dicegah atau dikurangi? Tentu saja, asalkan manusia mau berusaha memperbaiki kerusakan yang telah terjadi di Bumi dan berusaha untuk mencegahnya supaya tidak terjadi lagi. Teman-teman juga bisa ikut berpartisipasi dalam mengurangi pemanasan global. Caranya mudah, kok.

Membawa Kantong Belanja Sendiri
Setiap kali teman-teman berbelanja biasanya akan diberi kantong plastik untuk wadah belanjaan. Nah, kantong-kantong plastik itu kemudian menumpuk dan akhirnya dibuang. Padahal tanah perlu waktu ratusan tahun untuk mengurai sampah plastik itu. Sekarang sudah saatnya kita membantu ‘tugas’ tanah dengan membawa kantong belanja sendiri. Apalagi sekarang banyak dijual kantong atau tas belanja yang lucu-lucu, jadi selain mengurangi sampah plastik juga bisa sekalian gaya, asyik kan.

Gunakan Listrik Seperlunya Saja
Apakah teman-teman sering membiarkan televisi menyala tanpa ditonton? Atau menyalakan lampu terus menerus saat siang hari? Kalau ya, berarti teman-teman harus segera menghentikan kebiasaan itu. Listrik yang selama ini kita gunakan berasal dari bahan bakar fosil, sedangkan pembakaran fosil merupakan salah satu sumber terbesar yang menyebabkan pemanasan global. Jadi mulai sekarang gunakan listrik seperlunya saja, ya.

Hijaukan Lingkungan di Sekitar Kita
Siapa sih yang tidak senang kalau lingkungan di sekitar kita terlihat hijau dengan bermacam-macam tumbuhan? Hmm, pastinya lingkungan akan terlihat asri dan sejuk. Tapi bukan itu saja, tumbuhan dapat menyerap gas karbon dioksida dan mengubahnya menjadi oksigen sehingga udara di sekitar kita menjadi lebih bersih dan segar. Selain itu, akar tanaman juga dapat menyerap air hujan. Jadi secara tidak langsung dengan menanam pohon kita juga bisa mencegah banjir. Mulailah menanam pohon dari sekarang, di rumah, di sekolah, atau lingkungan di sekitar tempat tinggal teman-teman. Teman-teman juga bisa ikut kegiatan penanaman hutan kembali yang biasanya diadakan oleh salah satu lembaga lingkungan hidup. Tapi yang lebih penting, jangan lupa merawat tanamanmu, ya. Caranya dengan rajin menyiram dan memberi pupuk secara teratur.

Sampah? Ayo Kita Daur Ulang!
Kalau teman-teman hendak membuang barang, coba dilihat lagi, siapa tahu barang tersebut masih bisa di daur ulang. Misalnya kertas bekas, kardus, atau kaleng bekas masih bisa diolah kembali. Untuk sampah basah seperti sisa makanan atau sayuran bisa diolah menjadi pupuk kompos. Sampah jenis lainnya, bisa digunakan untuk bahan kreasimu. Misalnya, botol bekas selai bisa digunakan sebagai wadah pensil dengan diberi beberapa hiasan. Selain kreativitas kita semakin terasah, kita juga telah membantu mengurangi timbunan sampah. Selamat berkreasi! FA.

Senin, 13 April 2009

Mengajar Berbasis Media Edukatif


“All children are born geniuses, and we spend the first six year of their lives degeniusing them”; “Human mind is not like a vessel to be filled, but like a fire to be ignited”
(dikutip dari Driden and Voss, “The Learning Revolution”, 1999)

Peran Teknologi dalam Pendidikan
Perkembangan dan pemanfaatan teknologi dala, pendidikan selaras dengan perkembangan pendidikan dan revolusi pembelajaran itu sendiri. Para ahli filsafat pendidikan mulai dari Plato, dengan “Academy”, Aristoteles dengan “Lyceum”, Gutenberg dengan “Printing Press”, John Amos dengan “Picture to Facilitate Learning”, John Dewey dengan “Real World” dan B. F. Skiner dengan “Behaviourism”. Mereka menekankan bahwa proses pembelajaran memerlukan alat Bantu atau alat peraga yang memunculkan kenyataan nyata atau hampir nyata dalam proses belajar dengan tujuan agar peserta didik dapat memahami keadaan secara konkrit dan nyata dari apa yang diterangkan dalam kelas sehingga mereka dapat lebih cepat menerima dan mempraktekkan apa yang mereka pelajari
Teknologi memberi pengaruh pada proses pembelajaran. Peran teknologi di bidang pendidikan terdapat pada lima aspek teknologi teknologi yang mendorong perubahan di bidang pendidikan, yaitu pada :
1. System Thinking: General System Theory
Teknologi memberikan kerangka umum berpikir sistem, dimana sesuatu berhubungan dan saling bergantung satu dengan lainnya dalam upaya mencapai tujuan.
2. System Design: System Thinking Applied to Design
Teknologi bertujuan untuk merancang dan membangun sistem baru.
3. Quality Science
Pengetahuan mutu adalah aplikasi system thinking pada manajemen dan masalah dalam memproduksi barang dan jasa dalam memenuhi kepuasan pelanggan.
4. Change Management
Teknologi diaplikasikan pada aspek manajemen dalam menyelaraskan inovasi dan perubahan.
5. Instructional Technology: System Thinking Applied to Learning
Teknologi System Thingking ini diaplikasikan pada instruksi danpelajaran.
Pengaruh teknologi pada kelima aspek ini merupakan landasan dalam melakukan perubahan dan perbaikan di bidang pendidikan menuju sasaran pendidikan yang kompetitif.
Menurut Merril dan Drob (1977), pusat sumber belajar adalah suatu lembaga yang terorganisir (terdiri dari pimpinan, staff dan ke!engkapannya) yang berperan dalam produksi, pemanfaatan dan penyajian bahan-bahan pembelajaran serta memberikan pelayanan untuk pengembangan baik yang berkaitan dengan kurikulum dan pengajaran dalam suatu institusi pendidikan. Saya belum pernah melihat adanya pusat sumber belajar dalarn institusi pendidikan anak. Bahkan di perguruan tinggi sekalipun, peran pusat sumber belajar belum difungsikan sebagaimana mestinya. Bagi kita yang ingin menyelenggarakan program pendidikan anak yang ideal dan berkembang terus menerus (dinamis), sudah saatnya konsep pusat sumber belajar difungsikan dengan sebaik-baiknya.
"Media adalah salah satu bagian dari sumber belajar, sumber belajar itu sendiri dari manu­sia, bentuk memungkinkan memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap". Jadi dalam pola batasan media pendidikan mencakup guru itu sendiri serta alat bantu belajar sebagai sumber belajar, baik di dalam kelas mau­pun di luar kelas, yang dapat membantu siswa untuk memahami sesuatu objek dengan cepat dan tepat.media pada dasarnya dapat digolongkan menjadi beberapa jenis. Dalam makalah ini ha­nya akan lebih menonjolkan dua aspek pokok media pendidikan, namun secara menyeluruh pola media pendidikan itu terdiri dari:. 1. Bahan-bahan cetakan atau bacaan-bacaan (Supplementary materials). Beberapa ba­han bacaan seperti: buku, majalah, journal, komik, koran, brosur, buku novel dan lain sebagainya. Bahan-bahan ini lebih mengutamakan kegi­atan membaca atau penggunaan simbol­simbol kata dan visual, seperti contoh yang tertera di berikut ini :
2. Media Visual dua dimensi
Misalnya : gambar, fot, ;rafik, peta, papan penampil
- Gambar,gambar yang diproyeksikan pada Opaque Projektor,wayang beber, peta, poste, foto dan lain-lain, slide, film, film strip, opaque- Berbagai macam papan : Papan tulis, papan flannel, papan magnet (whiteboard) papan peraga.
c. Media Visual tiga dimensi - Barang contoh (mis : batu-batuan) - Alat tiruan sederhana - Diorama dan lain-laind. Media Audio : Radio, Tape Recordere. Media Audio Visual Murni : TV, Film dan sebagainya
Keuntungan Menggunakan Media
1. Menghemat Waktu

2. Efisiensi Tenaga Guru
3. Siswa Tidak Perlu Mendengar Penjelasan yang Bersifat Ceramah dari Guru
4. Materi Lebih Mudah Ditangkap Siswa
5. Membuat Pemahaman Siswa Menjadi Lebih Konkrit

Jumat, 03 April 2009

Berkaca dari Sosok Bu Muslimah


Sejam Bersama Bu Muslimah ( Belajar dari Sosok Bu Muslimah)
Siapapun yang pernah membaca atau menonton film Laskar Pelangi apabila ditanya “ Siapa itu bu Muslimah ?” pasti semua orang akan tahu dan salut atas perjuangannya. Saat ini siapa yang tidak kenal dengan bu Muslimah? Ia adalah satu sosok yang muncul dari goresan tinta muridnya. Ia dikenal berkat satu novel yang dikarang oleh seorang muridnya yakni Andrea Hirata dan semakin melejit namanya lewat sebuah film yang berjudul Laskar Pelangi. Padahal bu Muslimah hanyalah seorang guru dari sebuah pelosok daerah yang tidak terkenal. Kebesaran seorang murid adalah cerminan dari kebesaran hati seorang guru.
Bu Muslimah adalah salah satu goresan nama yang dikenal sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang pernah dilahirkan di bumi persada Indonesia ini. Ia adalah seorang guru yang telah menelorkan seorang kreator besar seperti Andrea Hirata yang mewarnai pelangi sejarah bangsa ini. Dia telah mampu membuktikan dirinya menjadi seorang maha guru yang namanya akan selalu dikenang oleh para muridnya dan kita semua. Ia merupakan satu sosok yang sabar dan gigih dalam menyelamatkan dan memperjuangkan masyarakat Belitong dari kebodohan dan keterbelakangan.
Bu Muslimah adalah guru kita semua dan merupakan salah satu sumber inspirasi kita dalam seni mendidika anak. Kita dapat belajar banyak hal dari kisah perjuangan beliau. Kita dapat belajar bagaimana menjadi seorang guru yang betul-betul tulus dan ihklas dalam mendidik anak. Dapat kita bayangkan bagaimana beliau hidup di suatu daerah yang miskin dan medan yang berat serta kondisi yang sulit ia tetap tabah dan rela untuk memperjuangkan keberlangsungan SD Muhammadiyah semata-mata agar pendidikan anak-anak Belitong tidak terputus. Kita dapat belajar tentang keikhlasan beliau dalam berjuang demi kemajuan pendidikan Bu Muslimah tetap setia mendampingi dan mendidik anak-anak belitong meskipun ia tidak mendapatkan gaji yang besar dari usaha jerih payahnya. Ia berjuang semata-mata hanya mendapat imbalan keridhaan Allah SWT. Ia juga mengajarkan kepada kita tentang sebuah seni mendidik dengan cinta dan penuh kasih sayang kepada murid-muridnya sehingga ia menjadi seorang guru yang kemudian tetap dikenang oleh murid-muridnya seperti Andrea Hirata, padahal banyak guru yang telah membesarkan Andrea Hirata tapi Bu Muslimahlah yang paling melekat dihatinya. Ia telah berhasil menjadi guru yang dikenang sepanjang masa.
Profesi guru bagi bu Muslimah benar-benar merupakan panggilan jiwanya yang paling mendalam, ia telah menemukan kondisi terbaiknya. Adakah profesi guru bagi kita merupakan sebagai panggilan jiwa seperti bu Muslimah? ataukah hanya sebagai pekerjanan semata seperti sebuah tulisan “Tak Sengaja Menjadi Guru” mampukah kita menjadi seorang guru yang dapat menelorkan generasi-generasi masa depan yang lebih baik yang nantinya dapat ditulis dengan tinta emas. Sosok sederhana bu Muslimah dapat dijadikan sebuah cerminan bagi kita dan bagi siapapun yang ingin memajukan dan memperjuangkan bangsa ini dari keterpurukan dan kebodohan. Karena ditangan kita semua nasib bangsa di masa yang akan datang ditorehkan/ ( Pen. NAS)

Rabu, 01 April 2009

6 Perilaku Anak yang Harus Diperbaiaki


Kebiasaan-kebiasaan di bawah ini terlihat sepele. Tetapi jika perilaku si kecil yang tak terpuji berikut ini dibiarkan, bisa berkembang menjadi kebiasaan buruk, yang malah membutuhkan lebih banyak waktu dan tenaga. Apa saja gerangan kebiasaan tak baik ini, dan mengapa harus segera diperbaiki?
1. MEMOTONG PEMBICARAANMengapa Harus Dicegah: Kemungkinan anak sedang dalam keadaan sangat gembira, sehingga amat tak sabar untuk segera menceritakannya pada Anda. Jadilah ketika Anda sedang terlibat dalam sebuah pembicaraan dengan orang lain, si kecil menyela, memotong pembicaraan dengan hebohnya. “Mama, tadi di sekolah aku dapat stiker dari Bu Guru, soalnya aku pandai.”
Jika perilakunya ini dibiarkan, dengan kata lain Anda dengan senang hati menjawab atau menanggapinya, berarti Anda tidak mengajarkan bagaimana seharusnya menghargai, memperhatikan kepentingan orang lain, dan hanya memikirkan diri sendiri. Nah, kalau hal ini dibiarkan saja, akhirnya anak akan berpikir, dia berhak mengambil perhatian orang lain kapan saja dia mau dan tak perlu bertoleransi pada kepentingan/kesibukan orang lain. Anak juga akan mudah merasa frustrasi jika suatu ketika tidak diikuti kemauanya.
Cara Mencegah: Pada suatu kesempatan, jika Anda sedang menelepon atau berbincang dengan teman dan si kecil menyela, katakan padanya, dia harus menunggu dan jangan memotong pembicaraan yang sedang Anda lakukan. Carikan kesibukan untuknya atau biarkan dia bermain dengan suatu mainan yang membuat konsentrasinya terpusat ke situ.Seandainya dia memaksa bicara, dudukkan di kursi dan katakan dengan lembut, “Tunggu di sini sampai Mama selesai bicara, ya.” Begitu pembicaraan selesai, jelaskan pada anak, dia tidak akan mendapat yang diinginkan jika Anda sedang terlibat pembicaraan dengan orang lain. Jadi, jangan memotong pembicaran ketika Anda sedang berbicara.
2. BERTINGKAH KASARMengapa harus Dicegah: Anda memang harus mencermati ketika si kecil memukul teman bermainnya, tapi tidak harus berlaku lebih agresif seperti mendorong atau menariknya. Sebab, jika Anda membiarkannya berperilaku kasar, bisa menjadi kebiasaan di samping seakan-akan Anda mengizinkan si kecil menyakiti orang lain.
Cara Mencegah: Langsung hadapi setiap perilaku agresif yang dilakukan anak secepatnya. Ajak atau panggil anak, kemudian katakan kepadanya sambil memberinya pengertian bahwa hal itu menyakitkan temannya. Katakan pula, bagaimana rasanya jika sebaliknya temanlah yang menyakiti/memukul dia.
Esoknya atau di lain waktu, pada waktu dia akan mulai bermain lagi, ingatkan bahwa ia tidak diperbolehkan bertindak kasar atau menyakiti orang lain. Cobalah untuk menolongnya dengan mengingatkannya agar tidak mengulangi perbuatan buruknya dan jika dia melakukan kekerasan lagi, stop bermain!
3. PURA-PURA TAK MENDENGARMengapa Harus Dicegah: Ulangi ucapan Anda sampai dua, tiga, bahkan empat kali agar dia mendengar dan mengerjakan apa yang Anda inginkan. Misalnya, membawa barang ke kamarnya atau membereskan mainan. Katakan padanya, tidak baik untuk pura-pura tak mendengar atau mengacuhkan apa yang Anda katakan dan tidak melaksanakan atau tidak melakukan apa yang harus dikerjakannya.
Anda harus terus mengingatkannya lagi dan lagi sampai ia melakukannya. Koreksi merupakan kekuatan di dalam pembentukan sifat dan jika Anda terus melakukan agar ia berperilaku baik, akhirnya anak akan menjadi biasa dengan segala sesuatu yang baik. Sebaliknya, jika dibiarkan, anak akan melawan, tak mau tahu aturan, dan lepas kontrol.
Cara Mencegah:Daripada berbicara sambil berteriak-teriak dari dalam kamar, sebaiknya datangi anak dan katakan padanya apa yang harus dilakukannya. Tatap mukanya, pandang matanya, saat berbicara padanya, dan tunggu sampai dia menjawab, “Ya.” Belai pundaknya, sebut namanya dengan lembut, matikan TV. Hal ini akan membuat perhatiannya penuh diberikan pada Anda.
Jika ia tetap tak peduli, tidak bergerak, beri hukuman padanya semisal tak boleh menonton film kartun favoritnya selama seminggu, tak boleh main sepeda, dan lainnya. Hal ini harus diterapkan pada anak agar kebiasaan buruknya itu tak terbawa hingga ia dewasa kelak.
4. TANPA ATURANMengapa Harus Dicegah: Pastinya menyenangkan jika anak dapat membeli sendiri snack atau DVD kesukaannya. Tapi cobalah tetap mengontrol kegiatannya supaya tetap sesuai dengan aturan yang berlaku dalam keluarga. Mungkin terdengar hebat jika anak usia 2 tahun sudah bisa dan terbiasa mengambil makanan dari lemari sendiri tanpa meminta izin pada Anda. Tapi tunggu sampai dia berumur 8 tahun, saat ia pergi ke rumah teman tetangga, mengambil semaunya tanpa meminta. Nah, memalukan, bukan?Cara Mencegah: Buat aturan-aturan di rumah dan bicarakan hal ini sesering mungkin dengan anak-anak. Misalnya, jika ia menginginkan cokelat, anak harus minta izin terlebih dahulu dan itu adalah peraturan yang berlaku di rumah Anda. Atau jika anak langsung menyalakan TV tanpa izin Anda, minta agar ia mematikannya dan setelah itu terangkan sambil mengajarkan padanya bahwa dia harus minta izin Anda terlebih dahulu jika ingin menonton TV.
Membuat dan menjalankan aturan akan menolong anak berdisplin, menghargai orang lain, dan tak cuma memikirkan kesenangan diri sendiri.
5. ATURAN MINIMMengapa Harus Dicegah: Mungkin tidak pernah terpikir oleh Anda ketika anak masih kecil ia berteriak-teriak atau membiarkan ingus keluar dari hidung tanpa mengajarinya untuk menyekanya. Akhirnya, perilaku itu terbawa hingga ia besar dan sudah sulit diperbaiki.
Pada umumnya, perilaku yang tidak baik sering dimulai ketika anak berada dalam usia balita. Beberapa orang tua berpendapat, “Toh, nanti juga hilang sendiri,” Padahal, jika Anda tidak mengajarkannya sejak dini, bisa menjadi masalah besar di masa datang.
Cara Mencegah: Biasakan anak mengerti dan menaati perilaku serta tata terib dengan baik. Katakan sejak sedini mungkin, ada aturan untuk berbuat yang lebih baik di depan umum. Seperti misalnya jika anak pilek, beri dia tisu dan ajarkan cara membersihkan hidungnya jika ingus keluar, lalu buang tisu di tempat sampah. Jika ia mememerlukan sesuatu, biasakan untuk mendekat dan berkata dengan sopan, bukan berteraik-teriak memanggil-manggil.
Jika anak tetap melakukan apa yang telah diajarkan, Anda dapat menolak keinginannya dengan cara pergi sambil mengatakan bahwa Anda tidak mau menolongnya jika dia tetap berlaku yang tidak semestinya. “Kalau kamu ngomongnya sopan, Mama akan mendengarkannya.” Lakukan terus dengan konsisten.
6. MEMBESAR-BESARKAN KENYATAAN ALIAS BOHONGMengapa Harus Dicegah: Jangan menganggap seolah-olah bukan suatu hal yang penting jika anak Anda mengatakan dia telah merapikan tempat tidurnya dengan susah payah padahal hal itu sama sekali tak benar. Atau dia bercerita kepada temannya bahwa liburan kemarin dia pergi ke Disney World padahal sebetulnya dia belum pernah ke sana. Bahkan naik pesawat terbang pun, belum pernah.
Jika hal ini terjadi, sangat penting untuk membicarakannya dengan anak dan jangan pernah dibiarkan! Soalnya, berbohong dapat menjadi suatu hal yang otomatis. Kalau anak belajar dan merasa bahwa dengan membual merupakan cara yang mudah agar dia dipandang lebih hebat oleh temannya atau mencegah terjadinya masalah yang lebih besar yang telah diperbuatnya, segera perbaiki tingkah laku anak!
Cara Mencegah: Jika Anda mendapati anak berbohong, ajak dia duduk bersama dan langsung bicarakan mengenai masalahnya. Misalnya, Anda mengatakan, “Memang sangat menyenangkan, ya, kalau kita bisa pergi ke Disney World. Mudah-mudahan suatu hari kita bisa pergi ke sana. Tapi kamu enggak boleh berbohong bilang pada temanmu sudah pergi ke sana. Sebab, kalau kamu suka berbohong, nanti jika kamu benar-benar melakukan sesuatu yang benar, tidak akan ada lagi yang percaya karena tahu kamu sudah berbohong. Nah, akhirnya kamu enggak punya teman. Enggak enak, kan?”
Atau jika anak berkata sudah menggosok giginya, periksa giginya. Jika ternyata belum, suruh dia segera menggosok gigi dengan bersih. Kontrol terus hal-hal seperti ini dan berikan mereka pengertian. Jangan pernah bosan melakukannya! Anda ingin si kecil berperilaku baik di saat ia besar nanti, kan?
Sumber : Ir. Hendry Risjawan, MTC, CH, CHt, CHI, EITC

Selasa, 24 Maret 2009

Pendidikan Akar Kecerdasaan dalam Berpolitik



Apabila kita mencoba mengamati tayangan media televisi, koran, dan media lainnya, akan mudah kita jumpai berbagai parodi politik yang lucu dan menggelitik. Bebagai aksi tontonan yang mendebarkan dan mengusik hati nurani kita banyak bermunculan seperti model kampanye besar-besaran yang melibatkan anak-anak dibawah umur, pawai peserta parpol di jalanan umum yang berujung pada kemacetan dan terkadang menimbulkan persaingan tidak sehat sehingga memicu aksi bentrokan antar pendukung partai politik. Dari masa ke masa hal tersebut selalu terjadi secara berulang-ulang, dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya korban jiwa akibat bentrokan antar pendukung partai politik. Padahal apa yang didapatkan setelah pesta demokrasi itu usai? rakyat hanya bisa gigit jari dan menelan pil pahit janji-janji manis para JURKAM dan politisi yang tidak bertanggungjawab. Masa para pendukung parpol tidak pernah merasa kapok atas tindakan mereka tersebut. Masyarakat seringkali dijadikan komoditas politik para politisi untuk mengangkat mereka pada kekuasaan namun ketika para politisi itu sudah naik ke panggung kekuasaan, mereka lupa akan janji-janji meraka kepada rakyat yang telah bersedia mati-matian dalam memperjuangkannya. para politisi lebih suka membangun pencitraan diri dan mengobral janji ketimbang benar-benar memperjuangkan rakyat untuk hidup secara layak,
mengapa berbagai fenomena ini bisa terjadi? para politisi yang lebih suka membangun pencitraan diri dan mengobral janji ketimbang benar-benar memperjuangkan rakyat, masyarakat yang gampang larut dijadikan komoditas politik demi kekuasaan para politisi yang sesaat, pelanggaran demi pelanggaran kampanye, money politic, tebar pesona para politisi, hilangnya keharmonisan antar elit politik, dan bahkan kerusuhan antar pendukung politik. kalau kita mau menengok sedikit saja terhadap negara lain yang lebih maju, di Amerika Mc. Cain yang kalah dalam pertarungan politik di Amerika rela mengakui denagn sportif dan bahkan ia langsung mengucapkan selamat dan siap membantu dalam mendukung pemerintahan Presiden Obama. di Jepang seorang Elit politik rela mengundurkan diri dari jabatan mentri karena ia merasa malu telah melakukan suatu kesalahan yang kecil. Semua itu lahir dari kesadaran berpolitik dan etika yang tinggi.

kesadaran berpolitik yang tinggi dan budya etika yang baik lahir dari sebuah pendidikan yang baik. diakui atau tidak urutan ranking pendidikan negara kita sangat memprihatikan jika dilihat dari urutan dunia. bahkan di Asia pun kita berada peringkat kedua dari akhir. padahal ironisnya khabarnya anggaran APBN untuk pendidikan kita sudah lebih dari 20 % ini adalah angka yang tidak sedikit..buanyak sekali. Akan tetapi apakah alokasi yang sudak sedemikian besar telah efektif dalam meningkatkan pendidikan di negara kita? kita harus mencermati apakah alokasi dana tersebut telah sampai ke seluruh pelosok negara kita? ataukah lebih besar penggunaannya pada alokasi birokrasi pendidikan yang ada? bagaimana transparansi alokasi dana yang telah dikeluarkan pemerintah. jawabannya kita sebagai pengamat hanya bisa mendengarkan laporan dari pihak yang berkuasa yang begitu manis padahal contoh kecilnya saja di malang dapat kita saksikan beritannya di media Televisi bagimana anak-anak yang menangis histeris karena berebutan bangku karena bangkunga mau diangkut oleh kontraktor sekolah. kembali lagi jika kita ingin mencapai kecerdasan dalam berpolitik, etika berpolitik yang baik akarnya adalah kita harus memperbaiki pendidikan untuk masa depan. contohnya saja bagaimana kita meningkatkan kurikulum pendidikan kita yang masih syarat dengan kepentingan pribadi/ kekuasaan, masih dipertahankannya UAN misalnya. membangun infrastruktur pendidikan yang lebih baik, penggunaan alokasi pendidikan yang tepat dan efektif disertai pengawasan yang baik dan pelaporan yang trasparan. selamat berjuang


ditulis oleh :

Nana Sujana

Praktisi & pengamat Pendidikan

Kebiasaan Mencontek Melahirkan Koruptor


Jumat, 07 Januari 2005
Biasa Mencontek Melahirkan Koruptor
Oleh Baskoro Poedjinoegroho E
TANGGAL 3 Desember 2004 yang lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi bersama 100 selebritis/artis menggelar Teriakan Anti Korupsi (Kompas, 4/12/2004). Perhelatan itu mendapat dukungan istimewa karena dihadiri Presiden, menteri, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua Mahkamah Konstitusi, dan sebagainya.
Jika kehadiran mereka dapat diartikan sebagai tanda peng-iya-an/setuju untuk tidak melakukan korupsi, sudah sepantasnya Teriakan Anti Korupsi didukung seluruh masyarakat Indonesia yang pengap dengan wabah korupsi. Masalahnya, bagaimana cara mendukungnya? Apakah teriakan atau usaha semacam itu akan berdampak?
TERIAKAN itu mungkin dimaksudkan agar yang biasa atau telah melakukan korupsi menjadi malu sehingga tidak berani lagi atau sungkan melakukan korupsi. Apalagi jika yang biasa melakukan tindak korupsi mendengar atau melihat bahkan hadir dalam acara itu. Pertanyaan berikut, apakah bangsa kita mudah atau bisa menjadi malu? Jawaban yang realistis, sulit (semoga bukannya tidak mau). Telinga kita sudah biasa mendengar tentang orang-orang yang konon jelas melakukan korupsi, tetapi tidak dapat dijerat oleh hukum yang konon dikawal para ahli hukum yang mumpuni. Sebaliknya, yang bersangkutan dengan gagah dan percaya diri tetap tampil di muka umum sebagai pemimpin, baik atas kemauan sendiri, dan lebih konyol lagi, diusulkan masyarakat tertentu.
Dalam acara Teriakan Anti Korupsi itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, pemberantasan korupsi tidak untuk diomongkan atau dipidatokan. Seruan moral tidak cukup. Lantas bagaimana korupsi diberantas?
Tindakan amoral berupa korupsi adalah tindakan yang berasal dari kebiasaan. Seseorang melakukan korupsi karena sudah terbiasa bertindak tidak jujur. Karena itu, pemberantasannya pun harus melalui kebiasaan mempraktikkan kejujuran. Tempat yang tepat dan strategis untuk mempraktikkan kejujuran adalah sekolah. Sekolah merupakan tempat untuk menanamkan dan mempraktikkan kejujuran yang akan mengarah ke tindakan antikorupsi. Mengingat sekolah adalah tempat untuk melatih berpikir dan membuat berbagai pertimbangan; seseorang dikirim ke sekolah agar menjadi pandai dan baik, cerdas dan berkepribadian. Di dalam sekolah itulah berbagai kebiasaan mewujudkan nilai (value) dilatihkan, baik secara langsung maupun tidak. Keajekan dan kontinuitas yang direncanakan adalah ciri melekat yang ada pada setiap sekolah.
Ruang, waktu, dan para calon penentu arah kemajuan bangsa tersedia di sekolah. Para peserta didik itulah yang nanti akan menjadi penentu arah kemajuan bangsa. Maju-mundurnya bangsa ditentukan maju-mundurnya generasi muda. Seorang pedagog bernama Petrus Kanisius mengatakan, memengaruhi kaum muda berarti memengaruhi masa depan bangsa. Karena itulah, saat dan tempat strategis di sekolah harus dimanfaatkan seluas-luasnya dalam rangka memberantas korupsi yang masih dan sedang merajalela di negara ini. Kita boleh berharap terbitnya bangsa Indonesia yang sehat, seandainya seluruh lembaga pendidikan atau sekolah di Indonesia mempunyai program melatihkan kebiasaan untuk tidak melakukan ketidakjujuran yang merupakan bibit dari korupsi.
TIDAK bisa dimungkiri, kebiasaan yang amat lazim menggoda dan dipraktikkan peserta didik di Indonesia dari tingkat paling rendah hingga paling tinggi adalah kebiasaan berbuat tidak jujur dalam menyelesaikan tugas belajar, yakni terutama kebiasaan mencontek saat ulangan atau ujian. Bahkan, tak jarang terdengar ungkapan yang pantas untuk dikikis habis, bahwa mencontek adalah sebuah seni dalam sekolah; atau pernyataan bahwa seseorang akan dianggap aneh atau tak wajar jika dalam hidupnya tidak pernah mencontek. Sungguh memprihatinkan. Sudah saatnya secara bersama dan terprogram kebiasaan tidak mencontek menjadi tujuan pokok pengembangan sikap peserta didik.
Perbaikan mutu pendidikan dapat diharapkan jika ketika memperingati Hari Guru dan Hari Aksara Internasional pada 2 Desember lalu di Senayan Presiden SBY tidak hanya menekankan perihal kesejahteraan guru (karena penaikan gaji semata-mata tanpa dibarengi program yang jelas tidak akan membuahkan hasil pada kemajuan pendidikan), tetapi juga menitipkan sebuah program kepada para guru agar melatihkan kebiasaan tidak mencontek di sekolah. Bukan mustahil, kebiasaan untuk tidak mencontek menjadi program nasional. Sebab, sebenarnya justru di situlah masalah pokok dunia pendidikan kita.
Penggalakan kebiasaan untuk tidak melakukan kegiatan mencontek amat terakomodasi dalam Kurikulum 2004. Kurikulum menyediakan ruang selebar-lebarnya untuk mengembangkan sikap hidup (ranah afektif) dari setiap peserta didik, selain pemahaman/pengetahuan (ranah kognitif) dan keterampilan praktik (ranah psikomotorik). Setiap guru atau pendidik diberi kebebasan untuk menentukan sikap-sikap mana dari peserta didik yang perlu dikembangkan.
Dalam hal ini, jika mau dipadukan dengan tekad untuk memberantas korupsi seperti dicanangkan pemerintahan SBY, sudah selayaknya sekolah mengimbangi dengan terus menghidupkan kebiasaan untuk tidak mencontek; daripada disibukkan dan dipusingkan dengan mencari-cari kompetensi ranah afektif yang harus dituliskan ke dalam rapor.
MEMANG, memerangi kebiasaan mencontek bukan pekerjaan mudah karena harus melibatkan seluruh komponen sekolah, yaitu guru, peserta didik bersama orangtua, dan penyelenggara sekolah dalam langkah-langkah terpadu. Semua harus setuju dan mengusahakan langkah konkret-operasional agar kebiasaan mencontek tidak ada di sekolah.
Semua harus memusatkan diri pada pendampingan peserta didik yang penuh tantangan untuk menjadi bangga dan mencintai kejujuran serta biasa tidak mencontek. Jika tidak, niscaya akan muncul malapetaka: peserta didik akan menanam kebiasaan berbuat tidak jujur, yang pada saatnya nanti akan menjadi kandidat koruptor.
Baskoro Poedjinoegroho E Direktur SMA Kanisius Jakarta

Senin, 23 Maret 2009

Kebijakan Pendidikan Belajar Bijak dari Kasus UAN


Berbicara tentang pendidikan adalah suatu tema pembahasan yang tiada habis-habisnya. kita dapat melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
Kebijakan PendidikanBelajar Bijak dari Kasus UN
Suparman
Harian Kompas, Senin, 28 Mei 2007, Silang pendapat tentang ujian nasional atau UN, yang sudah berlangsung tahunan, akhirnya diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan oleh 58 anggota masyarakat yang mewakili siswa, orangtua siswa, guru, dan para pemerhati pendidikan. Gugatan yang diajukan sejak hampir setahun yang lalu itu sebagian besar dikabulkan oleh majelis hakim.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak eksepsi para tergugat, yang terdiri atas Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa para tergugat telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak.
Majelis hakim juga memerintahkan para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia, sebelum (pemerintah) melaksanakan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut. Para tergugat juga diperintahkan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN, dan diperintahkan juga untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional.
Ada beberapa hal menarik yang patut dicermati dari putusan majelis hakim. Di antaranya terdapat persamaan pendapat antara majelis hakim dan para penggugat untuk menyebut siswa yang tidak lulus akibat kebijakan UN ini sebagai korban ujian nasional. Mengapa harus diposisikan sebagai korban?
Sebenarnya sudah sejak lama ketika kebijakan pemerintah di bidang pendidikan selalu berubah, maka yang paling merasakan dampak dari perubahan tersebut adalah siswa. Pada tahun 1979, kelulusan siswa sempat tertunda sampai enam bulan (satu semester) ketika terjadi perubahan sistem tahun pembelajaran. Sejak diberlakukan Kurikulum 1984, beban mata pelajaran pun bertambah dengan masuknya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang dinilai mengandung banyak pesan politik kekuasaan.
Ketika menjelang berakhirnya Kurikulum 1994, tiba-tiba saja muncul "Suplemen Kurikulum 1994" yang kemudian digantikan dengan Kurikulum 2004. Baru belakangan diketahui bahwa Kurikulum 2004 adalah kurikulum eksperimen, yakni ketika masyarakat dikagetkan dengan penarikan sejumlah buku sejarah yang dinilai menyimpang dari kurikulum resmi pemerintah.
Ketika masyarakat protes soal ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional), akhirnya ebtanas pun dihapuskan. Sejak itu siswa sekolah menengah sempat mengalami sistem penilaian yang "berbasis proses" dengan penilaian yang dilakukan mulai dari kelas I sampai kelas III untuk menentukan kelulusannya. Tidak lama kemudian, pada tahun pelajaran 2003/2004, sistem penilaian proses digantikan dengan sistem ujian akhir nasional (UAN). UAN inilah yang kemudian berubah nama menjadi ujian nasional (UN).
Jadi kelinci percobaan
Pendidikan sebagai sebuah proses memang perlu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Tetapi, perubahan demi perubahan yang tidak dirancang dengan landasan filosofi dan konstitusi yang matang akhirnya hanya terkesan menjadikan siswa dan guru sebagai kelinci percobaan semata.
Karena itu, tepat sekali ketika majelis hakim memosisikan siswa yang tidak lulus UN sebagai korban UN. Sebab, bukan saja secara pedagogis UN dapat menghambat proses berpikir kreatif anak dan menghilangkan hak anak untuk memperoleh penilaian secara holistik, tetapi juga secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sebagaimana pernah dinyatakan oleh Ketua DPR Agung Laksono (Kompas, 8 Mei 2007).
Perintah majelis hakim kepada para tergugat untuk terlebih dahulu meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia sebelum melaksanakan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut sesungguhnya sejalan dengan keinginan banyak pihak. Sudah sejak lama pemerintah diingatkan agar tidak menyelenggarakan UN terlebih dahulu sebelum memenuhi standar-standar lain yang menjadi kewajibannya sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas.
Masih banyak guru yang tidak kompeten dan belum memenuhi kualifikasi. Belum lagi sekolah yang roboh dan belum terehabilitasi dengan baik, fasilitasi pembelajaran yang masih jauh dari harapan, serta akses informasi yang sangat terbatas di sejumlah daerah maupun di kota-kota besar.
Semua itu memperlihatkan bahwa standar-standar terpenting dalam pemenuhan hak anak atas pendidikan untuk memperoleh pendidikan yang terbaik bagi dirinya belum dipenuhi oleh pemerintah. Terasa tak adil apabila pemerintah belum sepenuhnya memberikan pelayanan yang terbaik bagi anak, tetapi telah mewajibkan anak untuk meraih standar minimal yang ditentukan oleh pemerintah.
Mencermati putusan majelis hakim yang memerintahkan para tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN, terbayang oleh kita sejumlah anak yang mengalami tekanan psikologis akibat ketidaklulusannya. Di antaranya ada yang berniat melukai diri sendiri sampai usaha untuk bunuh diri.
Gangguan psikologis pada sejumlah anak lebih banyak didorong oleh perasaan diperlakukan tidak adil oleh sistem ujian yang hanya menghakimi mereka dalam waktu 3 x 2 jam saja selama UN. Tidak tercapainya nilai minimal dalam batas yang sangat tipis pada satu mata pelajaran saja mengakibatkan mereka tidak lulus. Padahal, selama tiga tahun mengikuti pembelajaran mereka sudah berusaha keras untuk meraih prestasi dan budi pekerti yang terbaik.
Dalam kasus seperti ini pemerintah semestinya memulihkan kembali konsisi psikologis anak dengan menyediakan para psikolog untuk mengatasi gangguan psikis pada anak, selanjutnya mengembalikan kewenangan guru dengan satuan pendidikannya untuk mengevaluasi kembali penentuan kelulusannya secara komprehensif. Jika ternyata memiliki nilai komprehensif yang memadai, maka mereka berhak untuk lulus dari satuan pendidikannya.
Kembalikan hak guru
Klimaks dari putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat adalah perintah kepada para tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional. Sepintas putusan ini bermakna interpretatif. Tetapi, jika dipahami sebagai bagian yang tidak terlepas dari semua putusan sebelumnya yang terfokus pada persoalan UN, maka sebenarnya pemerintah dan DPR bersama-sama dengan masyarakat dapat memaknai putusan ini sebagai pintu masuk untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Revisi terhadap PP ini seyogianya dijadikan solusi terbaik bagi semua pihak, terutama demi kepentingan terbaik anak. Kembalikanlah tugas mengevaluasi hasil belajar dan kelulusan peserta didik sepenuhnya kepada guru dan satuan pendidikannya, serta memfungsikan kembali UN hanya sebagai alat untuk pemetaan mutu pendidikan.
Palu majelis hakim telah dijatuhkan. Bagaimana semestinya para pihak menyikapi putusan majelis hakim tersebut? Kita acungkan jempol kepada Melati Murti Pertiwi, salah satu korban UN yang ikut menggugat diwakili oleh ayahnya. Dalam kesempatan dialog di sebuah televisi swasta, ia dengan bijak mengatakan bahwa putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tidak dipandangnya sebagai pertarungan menang atau kalah, tetapi akan dijadikannya sebagai momentum untuk sama-sama memperbaiki dunia pendidikan.
Sikap bijak Melati bersama dengan teman-temannya sesama korban UN akan tercatat dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Pemerintah pun akan menorehkan tinta emas dalam sejarah yang sama, andai saja secara bijak mau mendengar suara Melati dan menyatukan hati bersama dengan anak-anak Indonesia untuk memperbaiki pendidikan. Semoga!
Suparman Guru SMA Negeri di Jakarta; Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII)

Selasa, 17 Maret 2009

Guru Harus Memahami Autisme pada Anak


Media Indonesia - Kesra (12/02/2001 01:33 WIB) JAKARTA (Media): Pengetahuan guru terhadap autisme sangat berperan untukmeminimalisasi gejala gangguan perkembangan tersebut jika autisme ada padaanak didiknya. Paling tidak guru sebaiknya sadar bahwa autisme merupakankelainan yang membuat seorang anak sulit merespons komunikasi yang dilakukanguru.Hal ini penting karena sikap yang diperlihatkan oleh seorang anak penderitaautisme sering menunjukkan ketidakpatuhan yang menyebabkan gurumenganggapnya sebagai pembangkangan. Padahal sikap tersebut disebabkan suatugangguan interaksi sosial yang dimiliki sang anak. Menurut Ketua Jurusan Program Studi Bimbingan Konseling FKIP Unika Atma JayaGerda Wanai, banyaknya guru yang tidak memahami gejala autisme membuatanak-anak penderita gangguan perkembangan tersebut menjadi lebih terisolasi. "Padahal intervensi dini pada anak-anak autisme dapat mengurangi perbedaanyang diderita jauh lebih besar. Sementara jika tidak dilakukan justru akanmembuat gangguan tersebut semakin dalam," kata Gerda di sela-sela workshopPelatihan Mengatasi Autisme pada Anak yang diselenggarakan FKIP Unika AtmaJaya bekerja sama dengan Yayasan Penanganan Autisme (YPA) dan InterventionServices for Autism and Development Delay (ISADD), Sabtu (10/2). Untuk menangani masalah autisme ini, menurut Gerda, diperlukan suatupendidikan terpadu khusus bagi anak-anak autisme. Dalam arti penderitaautisme tetap berada di sekolah umum, namun mendapatkan perhatian lebihdengan ditempatkan pada kelas yang jumlah muridnya lebih sedikit. Selama ini, lanjut Gerda, ada semacam kontradiksi bagi anak autisme. Di satusisi orang tua penderita merasa anaknya normal karena tidak ada kecacatanfisik, sehingga mereka memasukkan anaknya di sekolah umum. Di sisi lain disekolah umum anak-anak autisme tidak dapat berinteraksi sehingga sulitmenerima pelajaran. Yang terjadi selanjutnya, kata Gerda, penderita autisme dimasukkan keSekolah Luar Biasa C (SLB yang ditujukan bagi penderita keterbelakanganmental). "Padahal dengan dimasukkan ke SLB C, perkembangan anak autismejustru menurun. Karena secara mental mereka sebenarnya tidak apa-apa. Brainmereka ada, namun mereka egois, sibuk sendiri dengan sesuatu, dan tidakdapat berinteraksi. Kalau digabung dengan anak-anak yang terbelakang mental,ya malah mundur."